Kepemimpinan Jenderal TNI (Purn) Muhammad Yusuf

by -79 Views

Ditulis oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]

Saya sering mendengar nama Jenderal Muhammad Jusuf sebelum bertemu dengannya. Dia adalah sahabat dari orang tua saya. Keduanya memiliki semangat nasionalis dan berjuang melawan Belanda. Pada saat orang tua saya menjabat Menteri Perdagangan, beliau menjadi Menteri Perindustrian.

Saya bertemu beliau saat melakukan inspeksi ke Markas Komando Kopassus, Cijantung. Saat itu, beliau baru diangkat menjadi Panglima TNI pada tahun 1978.

Ketika beliau masuk ke barak saya, beliau bertanya, “Prabowo, apa kesulitan kompi kamu sekarang.” Saya menjawab, “Panglima, tidak ada air di kompi saya.” Pada waktu itu, Cijantung sedang mengalami kesulitan air.

Beliau langsung memerintahkan Laksda TNI Rudolf Kasenda, Asisten Logistik (Aslog) TNI untuk membuat pompa air untuk Kompi tersebut. Sebulan kemudian, pompa air sudah tersedia. Jenderal Jusuf juga mengunjungi kompi-kompi dan batalyon-batalyon lainnya dan memberikan solusi langsung terhadap keluhan prajurit.

Beliau terkenal sangat peduli kepada prajurit. Dia bahkan mengecek rumah tangga dan makanan prajurit. Dulu semua prajurit dapat susu dan kacang hijau.

Dari beliau, saya belajar pemimpin harus turun ke lapangan dan langsung memberikan solusi atas persoalan yang ada. Itulah mengapa Jenderal Muhammad Jusuf sangat dihormati. Bahkan sampai dicium tangannya oleh anak buah. Belum ada lagi panglima seperti beliau.

Setelah kunjungan Pak Jusuf yang pertama itu, saya malah ditegur banyak senior karena melaporkan adanya kesulitan tersebut. Saya bingung karena kita dituntut untuk jujur kepada atasan. Apalagi sebagai komandan, saya harus bertanggung jawab pada anak buah. Namun saya tenang saja.

Saya bertemu lagi dengan beliau di Timor Timur. Saat itu operasi pengejaran Presiden Fretilin, Nicolau dos Reis Lobato. Banyak batalyon yang dikerahkan ke beberapa sektor. Saya memimpin kompi yang diberikan sandi Nanggala 28. Pangkat saya ketika itu adalah Letnan Satu (Lettu). Saya salah satu komandan kompi termuda saat itu.

Pada akhir Oktober 1978, kami langsung melaksanakan operasi pengejaran. Mulai di sektor Timur waktu itu di bawah pimpinan Komandan RDP 18, Kolonel Raja Kami Sembiring Meliala. Setelah beberapa minggu di sektor timur, kompi saya dipindahkan ke sektor tengah langsung di bawah Komandan Sektor Tengah, Komandan RTP 6, Letkol Inf. Sahala Rajagukguk.

Dalam beberapa hari pada Desember 1978, saat saya dipimpin oleh Letkol Infanteri Sahala Rajagukguk dalam operasi pengejaran di daerah Laclubar, Fatuberliu, berakhir di sekitar Fahinehan. Setelah hampir dua minggu membaca jejak dan mengikuti, akhirnya terjadi pertempuran dengan rombongan Lobato. Pada saat itu pasukan Lobato berkekuatan hampir 200 orang dengan senjata kurang lebih 40 senjata. Pasukan yang mengepung terdiri dari Batalyon 744, 700, dan 401. Kompi saya sendiri sebagai pemukul dari lingkaran.

Pada 31 Desember, siang hari, Lobato dan pasukannya berhasil disergap. Namun Lobato memilih bunuh diri karena tidak mau ditangkap hidup-hidup.

Jenderal Jusuf datang untuk memberikan penghargaan atas keberhasilan penyergapan pasukan Fretilin. Saya dijemput menggunakan helikopter untuk menghadap beliau. Sebagai hadiah, 1 peleton pasukan saya yang menyergap itu naik pangkat luar biasa dan langsung pulang ke Jakarta hanya tiga bulan operasi. Kami naik Hercules, tidak naik kapal seperti biasanya.

Keputusan yang langsung memberi penghargaan atas prestasi anak buah di lapangan juga menjadi salah satu yang berkesan bagi saya terhadap kepemimpinan lapangan beliau.

Penampilan beliau yang sederhana dan rendah hati juga sangat mengesankan saya.

Saya pernah berkunjung ke rumahnya pada saat saya berpangkat kapten dan pada tahun 1995 ketika menjadi brigadir jenderal, saya juga mengunjungi Jenderal Jusuf. Karena beliau saya anggap panutan dan mentor.

Saya sangat terkesan dengan sederhana beliau. Jenderal Jusuf hidup dari uang pensiunnya tanpa memiliki penjagaan atau ajudan. Air mata saya keluar saat melihat sederhananya. Saya berkata pada diri sendiri, “Tidak heran para anak buahnya sangat mencintainya, tidak heran saya sangat mencintainya.”

Pelajaran yang saya dapatkan dari Jenderal Jusuf adalah: Sebagai seorang komandan militer Anda harus benar-benar tulus dan jujur kepada negara, anak buah, dan yang terpenting, kepada diri sendiri. Jenderal Jusuf adalah seorang prajurit, seorang Jenderal, dan seorang Komandan yang tidak ingin menyusahkan mantan bawahannya dengan meminta berbagai layanan. Dia ingin mandiri dan berdiri di atas kedua kakinya sendiri.

Source link