LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [PRESIDENT SUKARNO]

by -115 Views

Pada sepanjang sejarah Indonesia, ada beberapa ksatria yang telah menunjukkan keberanian dan ketahanan mereka. Ksatria yang berani melawan penjajah asing daripada tunduk atau tunduk kepada kekuasaan asing yang sombong dan congkak. Salah satu ksatria yang menjadi panutan saya adalah Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno. Beliau adalah seorang intelektual hebat, orator dan pengorganisir. Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Presiden pertama Indonesia, Presiden Sukarno. Pelajaran yang saya pelajari darinya dapat menjadi sebuah buku tersendiri. Bung Karno lahir di Surabaya pada tahun 1901. Pada tahun 1927, pada usia muda 26 tahun, beliau mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Karena tulisan-tulisannya yang berpengaruh dalam membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia, pada tahun 1929, Bung Karno ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di penjara Banceuy, Bandung. Setahun kemudian, beliau dipindahkan ke penjara Sukamiskin. Dari penjara, Sukarno menuliskan pidato fenomenalnya, Indonesia Menggugat. Sebuah pidato bersejarah yang saya anggap masih sangat relevan hingga hari ini. Antara tahun 1938 hingga 1942, Bung Karno diasingkan ke Ende. Belanda, karena keadaan saat itu, hanya membebaskannya selama pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942. Selama masa ini, beliau aktif bekerja untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, merumuskan Pancasila dan UUD 1945, serta membangun dasar bagi pemerintahan Indonesia yang baru. Dalam buku ini, saya ingin menarik perhatian Anda pada beberapa peristiwa penting dalam sejarah yang sangat mempengaruhi arah negara dan bangsa kita. Yang pertama adalah keberanian Presiden Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Seperti yang dapat dibayangkan, pada saat itu, negara kita bisa dikatakan tidak memiliki apa-apa. Namun Presiden Sukarno berani mengumpulkan massa di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta dan membacakan pidato berikut: Saudara-saudara, rakyatku! Saya telah mengumpulkan Anda di sini untuk menjadi saksi dari salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah kita. Selama puluhan tahun, kita rakyat Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Selama ratusan tahun, bahkan! Banyak gerakan kita untuk merebut kemerdekaan kita telah mengalami kemajuan dan kemunduran, tetapi semangat kita tetap pada tujuan kita. Juga, selama kolonialisme Jepang, upaya kita untuk mencapai kemerdekaan telah tak kenal lelah. Mungkin kelihatan bahwa kita bergantung pada Jepang, tetapi pada hakikatnya, kita bergantung pada tekad kita, pada kekuatan kita. Sekarang waktunya telah tiba untuk benar-benar mengambil alih nasib bangsa kita, tanah air kita. Hanya bangsa yang berani mengendalikan nasibnya sendiri yang akan mampu berdiri teguh dan bangga. Jadi pada hari ini, kita telah berunding dengan para pemimpin Indonesia dari seluruh Indonesia. Kita telah sepakat bahwa saat ini adalah waktu untuk menyatakan kemerdekaan kita. Saudara-saudara! Maka dengan tegas kami nyatakan: Bisa dibayangkan keadaan jiwa Bung Karno pada saat itu. Beliau dan Bung Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia. Deklarasi ini memicu pemberontakan terhadap Pasukan Sekutu, yang merupakan pemenang Perang Dunia II dan memiliki senjata nuklir. Pada saat itu kita tidak memiliki apa-apa. Senjata yang kita miliki adalah sisa-sisa persenjataan Belanda dan Jepang yang berhasil kita rebut. Peristiwa kedua yang berpengaruh pada pembentukan Indonesia, dan bagi saya, adalah pidato yang disampaikan oleh Presiden Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945. Pada saat itu, Presiden Sukarno berada di bawah tekanan besar untuk menciptakan dasar ideologis bagi negara Indonesia yang baru merdeka. Beberapa mendorong untuk dasar ideologis berdasarkan agama atau kelompok etnis tertentu. Tetapi beliau dengan tenang memutuskan, di hadapan sidang tersebut, bahwa Indonesia akan didirikan berdasarkan Pancasila. Presiden Sukarno berkata: Kita ingin menciptakan negara bagi semua orang. Bukan untuk satu orang, bukan untuk satu kelompok, bukan untuk kaum bangsawan, bukan untuk orang kaya – tetapi bagi semua orang! Republik Indonesia bukanlah milik satu kelompok, juga bukan milik satu agama atau kelompok etnis atau budaya tertentu, tetapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke. Dalam buku ini, saya juga ingin membahas Bung Karno dari sudut pandang Profesor Soemitro, ayah saya. Pak Soemitro dikenal luas dalam sejarah Indonesia sebagai salah satu lawan politik Bung Karno. Pak Soemitro bahkan ikut serta dalam ‘pemberontakan’ PRRI/Permesta terhadap pemerintahan Presiden Sukarno. Karena saya adalah anak dari Profesor Soemitro, ada yang bisa mengatakan bahwa saya berasal dari keluarga anti-Sukarno. Tetapi, yang menarik, Pak Soemitro selalu mengingatkan kami, anak-anaknya, bahwa dia melawan Bung Karno karena perbedaan pandangan politik, terutama tentang komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia pernah mengatakan, ‘Tetapi, anak-anakku, kalian semua harus ingat bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Bung Karno bukanlah seorang pemimpin hebat. Bung Karno adalah salah satu pemimpin yang paling luar biasa yang pernah dimiliki Indonesia. Bung Karno menyatukan ratusan suku, kelompok agama yang berbeda, faksi politik, dan adat istiadat untuk satu tujuan: Indonesia Merdeka.’ Pak Soemitro pernah bercerita kepada kami bahwa jika bukan karena Bung Karno, kita mungkin tidak pernah mencapai kemerdekaan Indonesia yang bersatu tetapi justru akan berakhir dengan puluhan republik yang berbeda. Dan memang itulah yang diinginkan oleh Belanda: melihat Indonesia hancur menjadi puluhan negara yang berbeda. Itulah juga yang diharapkan oleh beberapa negara lain di sekitar kita. Itulah yang dikatakan oleh almarhum ayah saya. Kemudian, Pak Mitro menceritakan bagaimana dia, pada awal tahun 1950-an, mencoba meyakinkan Bung Karno untuk tidak bekerjasama dengan PKI. Sampai suatu hari, Bung Karno kesal dengan Pak Mitro dan memarahinya. Bung Karno berkata kepada Pak Mitro, ‘Hei Mitro, ketika kamu masih mengenakan celana pendek, saya sudah masuk dan keluar penjara. Ingat itu. Kamu hanya urus ekonomi saja dan tinggalkan politik pada saya. Saya lebih memahami politik Indonesia daripada kamu.’ Pak Mitro menceritakan kepada saya bahwa Sukarno benar. Ketika Bung Karno pertama kali dipenjara, Pak Mitro baru berusia 15 tahun. Tetapi menurut Pak Mitro, ‘Saya tidak ada niat jahat. Saya hanya ingin agar Bung Karno tidak terjebak. Saya yakin suatu hari PKI akan mengkhianati Bung Karno.’ Dalam hubungannya dengan Bung Karno, Pak Mitro juga menceritakan kepada saya bahwa sebenarnya, pilihan pertama Bung Karno sebagai WAPERDAM 1 (Wakil Perdana Menteri Pertama) suatu waktu adalah dirinya, bukan Dokter Subandrio. Tetapi ketika ditawari posisi tersebut, dia kembali mendorong Bung Karno untuk tidak bekerjasama dengan PKI. Bung Karno marah dengan keteguhan Pak Mitro, dan beliau memilih Dokter Subandrio sebagai gantinya. Ketika Pak Mitro menceritakan kisah itu kepada saya, saya katakan padanya, ‘Pak, saya pikir Anda membuat kesalahan. Anda seharusnya tidak meninggalkan Bung Karno. Jika Anda berada di sisinya, Anda mungkin bisa mencegah manuver PKI.’ Pak Mitro memikirkan apa yang saya katakan untuk waktu yang cukup lama sebelum dia mengakui, ‘Sepertinya kamu benar, Bowo. Saya seharusnya tidak pernah meninggalkan Bung Karno.’ Beberapa tahun kemudian, saya mendengar dari adik saya Hashim Djojohadikusumo bahwa sekitar sebulan sebelum Pak Mitro meninggal, ketika dia terbaring sakit di ranjang, Pak Hashim bertanya kepada Pak Mitro, ‘Pak, apakah Anda memiliki penyesalan dalam hidup Anda? Apa yang paling Anda sesali dalam hidup Anda?’ Jawab Pak Mitro adalah, ‘Ada satu hal yang paling saya sesali: saya meninggalkan Bung Karno. Seharusnya saya tetap berada di sisinya.’ Itulah pelajaran yang saya catat. Dan itulah norma di kalangan Generasi ’45 – mereka memiliki pandangan berbeda, tetapi mereka saling menghormati. Juga, saya belajar bahwa kita harus selalu fleksibel dan tidak terlalu kaku dalam sikap kita karena, suatu saat, sikap-sikap kita bisa menjadi kurang relevan jika dilihat dari konteks dan era yang berbeda. Ada satu hal lagi yang membuat saya terkesan. Saya ingat ketika Pak Mitro mengajak saya ke Istana Merdeka ketika saya berusia lima tahun. Saya melihat Bung Karno berdiri di atas tangga. Beliau tinggi, berbadan tegap, karismatik, dengan senyum lebar di wajahnya. Suaranya dalam, berdentum. Saya ingat bahwa beliau mengangkat saya seperti akan melemparkan ke udara. Kemudian beliau menurunkan saya kembali ke kakiku. Saya tidak ingat dengan pasti…

Source link