Kontroversi Regulasi Tekstil: Haruskah Praktik Premanisme Berakhir?

by -13 Views

Sektor tekstil nasional saat ini sedang pulih setelah mengalami tekanan berat dari pandemi dan disrupsi global. Namun, muncul fenomena yang mengkhawatirkan akibat tekanan regulasi dari kelompok-kelompok tertentu. Fenomena ini dikenal sebagai “premanisme regulasi”, di mana kelompok tersebut mencoba memaksakan kehendaknya melalui desakan terhadap kebijakan publik. Contohnya adalah desakan dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia terkait BMAD pada produk benang polyester DTY dari Tiongkok. Meskipun pemerintah menolak usulan tersebut, tetap diperlukan keterbukaan dalam menilai kebijakan yang tepat.

Di sisi lain, keterlibatan entitas seperti Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia juga mendapat sorotan karena mendorong regulasi SNI wajib untuk produk tekstil. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keterkaitan organisasi tersebut dengan asosiasi produsen tertentu. Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menyoroti pentingnya kajian komprehensif sebelum memperluas kewajiban SNI ke produk pakaian jadi. Ia menekankan bahwa prioritas saat ini seharusnya adalah pembenahan tata niaga impor pakaian jadi agar industri nasional semakin kuat.

Fernando juga menekankan perlunya penertiban organisasi-organisasi yang melakukan tekanan tidak sehat terhadap kebijakan industri. Ia meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk mengevaluasi dan mencabut izin organisasi yang menyebabkan gangguan terhadap pelaksanaan program prioritas pemerintahan. Dengan demikian, diharapkan program penguatan industri domestik dapat berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak yang tidak sah. Maka dari itu, upaya untuk menghentikan premanisme regulasi di sektor tekstil harus terus didorong agar industri tekstil nasional dapat pulih dan berkembang dengan lebih baik.

Source link