LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [MAJOR GENERAL TNI (RET.) SUHARIO PADMODIWIRYO (HARIO KECIK)]

by -132 Views

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Saya sangat terkesan dengan kehidupan Hario Kecik. Saya bercita-cita untuk mengubah kisah hidupnya menjadi sebuah film box-office suatu hari nanti, terutama perannya dalam Pertempuran Surabaya.

Saya kagum bahwa seseorang tanpa latar belakang pendidikan militer bisa memiliki kepercayaan diri untuk melawan pemenang Perang Dunia II.

Jenis kepercayaan dirinya inilah yang membuat kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan membuat kita menjadi bangsa. Pertempuran Surabaya mungkin adalah ujian terberat yang datang setelah proklamasi kemerdekaan.

Setelah Gubernur Suryo dan Bung Tomo, saya ingin bercerita tentang Hario Kecik. Setelah membaca buku hariannya pada tahun 2015, Memoir Hario Kecik: Otobiografi Seorang Mahasiswa Angkatan Bersenjata, saya sangat terkesan dengan kisah hidupnya.

Beliau adalah seorang mahasiswa kedokteran yang tidak mengerti politik namun akhirnya menjadi seorang pejuang. Beliau adalah salah satu tokoh utama dalam Pertempuran Surabaya. Beliau bagian dari Angkatan Bersenjata Pelajar Indonesia (TRIP) dan menjadi komandan Korps Pelajar Jawa Timur (CMDT).

Kisah Hario Kecik sangat menarik. Saya sangat mendorong setiap anak muda Indonesia untuk membaca memoarnya. Terutama mengenai perannya sebagai seorang pelajar, kemudian mahasiswa kedokteran, seorang pejuang, dan akhirnya seorang perwira tinggi TNI.

Dia sempat dicurigai oleh rekan-rekannya dalam hidupnya, terutama oleh rezim Orde Baru. Mungkin karena pandangan politiknya yang bersifat kiri; karena jiwa populisnya, yang terbentuk dari pengalaman dalam perjuangan awal kemerdekaan Indonesia, terutama dalam Pertempuran 10 November di Surabaya.

Sebagai seorang pejuang muda, teman-temannya memilih Hario sebagai komandan karena dia pintar di sekolah dan lancar berbahasa Belanda dan Inggris. Dia bertempur melawan Pasukan Sekutu dalam momen kritis dan penentu, dari Oktober hingga November 1945.

Beliau memimpin hanya beberapa puluh orang namun terlibat dalam peristiwa dramatis dalam Pertempuran Surabaya, yang merupakan pertempuran paling sengit dan paling berdarah yang pernah dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam perang kemerdekaan.

Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, arek-arek Suroboyo, termasuk Hario Kecik, merebut senjata-senjata Jepang, senapan, senjata api, senjata mesin, dan meriam. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu cara menembak meriam tersebut. Namun, kita tahu banyak tentara Jepang yang membantu mereka. Beberapa tentara Jepang itu meninggalkan pasukan mereka dan bergabung dengan pejuang kemerdekaan.

Mereka adalah mereka yang membantu melatih pemuda-pemuda kita untuk menggunakan senjata seperti SMR, SMG, dan meriam. Juga, meriam anti-pesawat. Semua itu diceritakan dalam memoar Hario Kecik.

Pada 1 Oktober 1945, dia menulis bahwa sekelompok orang dan tentara dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) mengepung markas Kempeitai (polisi militer Jepang) di Surabaya. Mereka bermaksud merebut senjata Jepang.

Hario menggambarkan kondisinya saat itu:

Pada saat itu, saya sepenuhnya menyadari bahwa saya tidak punya apa-apa, hanya satu dari para prajurit di tengah massa yang besar dan berani. Tidak ada komandan atau pemimpin. Hanya ada niat untuk maju bersama menuju kemenangan atas musuh. Semua kita adalah pemuda-pemuda dari desa. Pakaian kita memperlihatkan betapa miskinnya kita.

Setelah merebut senjata-senjata tersebut, Hario Kecik mendirikan Pasukan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR), cikal bakal dari korps Polisi Militer TNI.

Peristiwa 10 November 1945, yang dimulai dari minggu ketiga dan keempat Oktober 1945, adalah ujian bagi proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Benar, kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, diproklamasikan di Jakarta. Namun, Pasukan Sekutu menguji ketahanan proklamasi tersebut di Surabaya selama Pertempuran Surabaya. Itu menguji apakah rakyat Indonesia sepenuhnya mendukung proklamasi kemerdekaan.

Dalam pertempuran 10 November 1945, setidaknya 30.000 rakyat Indonesia tewas. Diperkirakan lebih dari 5.000 tentara Inggris terbunuh dan terluka.

Kami memiliki 30.000 korban utamanya karena superioritas Pasukan Inggris dalam persenjataan modern. Inggris mengirimkan lebih dari satu divisi, yang jumlahnya sekitar 35.000 orang. Mereka didukung oleh kapal induk, pesawat tempur, kapal perang, dan meriam. Anda bisa membayangkan kekuatan dan keunggulan artileri mereka dibandingkan dengan rakyat Indonesia, arek-arek Suroboyo.

Jika kita mempelajari sejarah peristiwa tersebut, kita bisa melihat bahwa semua pihak di sisi Indonesia bersatu. Para pemuda bersatu dengan rakyat biasa, tukang becak, petani. Semua bersatu. Mereka merebut senjata dari pasukan Jepang dan mengorganisir diri dalam unit perlawanan. Beberapa bergabung dengan batalyon yang akhirnya akan membentuk TNI. Beberapa pasukan membentuk inti TNI pada 5 Oktober dengan nama TRI (Tentara Republik Indonesia). Jadi, beberapa pasukan telah mengorganisir diri menjadi batalyon resmi. Mereka adalah batalyon-batalyon mantan PETA. PETA adalah tentara sukarela yang diselenggarakan oleh Jepang, singkatan dari ‘Pembela Tanah Air’.

Ada juga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ada juga front pemuda, pasukan akar rumput dari berbagai komunitas. Beberapa terdiri dari siswa madrasah dari Surabaya dan dari seluruh Jawa Timur. Ada juga kelompok yang terdiri dari para mahasiswa, termasuk Hario Kecik dan para sahabatnya. Sangat menarik untuk mempelajari dinamika kelompok saat itu.

Mengenai Hario, saya kagum bahwa seseorang tanpa latar belakang militer bisa memiliki keberanian untuk melawan pemenang Perang Dunia II. Dalam memoarnya, menjelang serangan 10 November, Hario menulis:

Kami siap menghadapi segala yang musuh tawarkan. Kami bukan ahli militer atau prajurit profesional. Kami hanya ingin tetap merdeka.

Kami mengambil keputusan dan tekad yang disebutkan sebelumnya dalam suasana yang sulit dijelaskan. Saya tidak bisa dengan mudah menjelaskan ketegangan, optimisme, semangat, rawatan kemarahan di hati para pemuda yang berkumpul di tempat itu hanya dengan kata-kata.

Pada saat itu, saya juga terbawa oleh suasana. Itu dimulai ketika saya bersama para pemuda, menggali parit pertahanan di halaman markas kami di Pasar Besar, pada saat kita mendengar kapal perang Inggris tiba di perairan Tanjung Perak [pelabuhan Surabaya].

Pikiran rasional saya, atau tepatnya, ‘pikiran intelektual’ saya, mengatakan bahwa markas kami sulit dipertahankan dari serangan musuh karena lokasinya, pertahanan yang lemah, dan faktor lainnya. Namun, para pemuda bertekad untuk mempertahankan markas hingga kelelahan.

Akhirnya, setelah pikiran intelektual saya menyerah pada ‘emosi’ atau ‘semangat’ saya, saya setuju dengan mereka. Kami hanya memiliki beberapa jam untuk bersiap-siap.

Pada malam itu kami tidak membahas garis komando, logistik, dsb. Kami telah siap, dan tidak ada satupun dari kami yang meragukan.

Kami merangkum strategi-strategi rumit menjadi satu motto: Merdeka atau mati. Tidak ada yang mempertanyakan kekuatan musuh, dan tidak ada yang mempertanyakan kekuatan kita. Mungkin secara bawah sadar, kita semua dengan cepat memutuskan bahwa sudah terlambat untuk khawatir tentang hal itu. Kami harus melawan musuh besok juga.

Membaca memoar ini membuat saya merinding. Demikianlah semangat yang memungkinkan kita untuk mempertahankan kemerdekaan kita. Demikianlah semangat yang memungkinkan kita melewati ujian pertama kemerdekaan kita dan menyatukan kita menjadi sebuah bangsa. Mungkin ini adalah ujian paling berat setelah kemerdekaan.

Saya selalu membayangkan bagaimana rasanya jika saya bisa berada di Surabaya pada saat itu. Apakah saya akan seberani Hario Kecik? Apakah saya akan sebersemangat Hario Kecik dan teman-temannya? Itulah beberapa pertanyaan yang selalu saya tanyakan pada diri sendiri.

Maka dari itu, setiap kali saya memberikan kuliah atau melatih generasi muda, saya selalu menggunakan Hario Kecik sebagai ikon pemuda Indonesia yang teladan.

Pahlawanisme yang diwakili oleh Hario Kecik sangat jelas. Dia memberikan contoh bagi generasi berikutnya, contoh bagi setiap orang Indonesia.

Source link