Krisis Pekerjaan bagi Sarjana di Tiongkok

by -50 Views

Tiongkok, VIVA – Ketika hampir 12 juta lulusan perguruan tinggi baru di Tiongkok menghadapi pasar kerja yang suram, Partai Komunis Tiongkok (PKT) harus menghadapi konsekuensi dari kesalahan pengelolaan ekonomi dan kebijakan yang tidak berwawasan luas.

Seperti dilaporkan oleh The Singapore Post, Senin 5 Agustus 2024, krisis ketenagakerjaan ini tidak hanya menyoroti kegagalan rezim dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi juga mengungkap masalah yang mengakar dalam sistem pendidikan dan sektor swasta Tiongkok.

Tingkat pengangguran resmi untuk kaum muda berusia 16 hingga 24 tahun mencapai 21,3% yang mengejutkan pada Juni 2023, naik dari 16,7% pada Desember 2022. Namun, klaim PKT tentang penurunan mendadak menjadi 15,3% pada Maret 2024 telah disambut dengan skeptisisme dari para ahli, yang merasa penurunan dramatis tersebut sulit dipercaya.

Manipulasi statistik yang nyata ini menekankan kecenderungan rezim untuk memprioritaskan citra daripada transparansi, yang semakin mengurangi kepercayaan pada data resmi.

Parahnya situasi ini dicontohkan oleh pengalaman lulusan Universitas Fudan di Shanghai. Laporan Desember 2023 mengungkapkan bahwa hanya 18,07% lulusan baru yang diperkerjakan, sementara 70,61% memilih untuk melanjutkan pendidikan.

Tren melanjutkan pendidikan daripada menghadapi pengangguran ini merupakan indikasi jelas keadaan pasar kerja Tiongkok yang buruk bagi para profesional muda.

Inti dari krisis ini adalah ketidakselarasan sistem pendidikan dengan tuntutan pasar tenaga kerja oleh PKT. Sejak tahun 1990-an, rezim telah mengawasi perluasan pendaftaran perguruan tinggi yang pesat, yang lebih didorong oleh motif keuntungan daripada perencanaan yang matang.

“Industrialisasi pendidikan” ini telah menghasilkan surplus lulusan yang keterampilannya sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Banyak yang menemukan diri mereka bekerja di bidang yang tidak terkait dengan jurusan mereka atau berjuang untuk mendapatkan pekerjaan apa pun.

Kegagalan PKT untuk memperkuat sektor usaha swasta telah memperburuk masalah tersebut. Bisnis swasta, yang secara historis menjadi pendorong utama penciptaan lapangan kerja di Tiongkok, kini mengambil strategi defensif dan mengurangi operasi.

Kontraksi ini merupakan akibat langsung sikap rezim yang semakin bermusuhan terhadap perusahaan swasta, yang ditandai dengan regulasi ketat dan perubahan kebijakan yang tidak bisa diprediksi.

Data dari PKT sendiri menunjukkan peran penting perusahaan swasta dalam ekonomi Tiongkok. Bisnis-bisnis ini menyumbang lebih dari 50% pendapatan pajak, lebih dari 60% PDB, dan mendorong lebih dari 70% inovasi teknologi. Mereka juga menyumbang lebih dari 80% lapangan kerja perkotaan. Namun, kebijakan rezim telah menghambat pertumbuhan sektor vital ini, yang menyebabkan penurunan signifikan dalam kapasitas penciptaan lapangan kerja.

Kesalahan pengelolaan ekonomi oleh PKT tidak hanya membatasi kesempatan kerja, tetapi juga mendorong terjadinya pergeseran budaya di kalangan pemuda Tiongkok. Generasi sekarang semakin cenderung mencari posisi stabil di layanan sipil dan lembaga publik daripada mencari kesempatan kewirausahaan atau di perusahaan asing.

Pergeseran ini mencerminkan hilangnya kepercayaan pada sektor swasta dan meningkatnya keengganan mengambil risiko di kalangan pemuda, yang secara langsung disebabkan oleh kegagalan rezim dalam pengelolaan ekonomi.

Dalam gema yang mengganggu dari kesalahan masa lalu, beberapa orang dalam PKT telah mengusulkan versi modern dari “Gerakan Turun ke Pedesaan” sebagai solusi untuk pengangguran perkotaan. Saran ini mengacu pada kebijakan yang diterapkan dari tahun 1956 hingga 1978, yang secara paksa merelokasi jutaan pemuda perkotaan ke pedesaan.

Fakta bahwa ide semacam itu bahkan dipertimbangkan menunjukkan keputusasaan rezim dan kemauannya untuk mempertimbangkan kebijakan regresif daripada mengatasi akar penyebab stagnasi ekonomi.

Penanganan krisis ketenagakerjaan lulusan oleh PKT menunjukkan rezim yang lebih peduli dengan mempertahankan kendali daripada membangun ekonomi yang sesungguhnya.

Upayanya untuk memanipulasi statistik, menghambat perusahaan swasta, dan berpotensi menghidupkan kembali kebijakan masa lalu yang gagal semuanya menunjukkan kepemimpinan yang tidak memahami realitas yang dihadapi warga negaranya yang masih muda.

Untuk benar-benar mengatasi krisis ini, PKT perlu melakukan reformasi mendasar. Reformasi ini harus mencakup penyelarasan sistem pendidikan dengan kebutuhan pasar yang sebenarnya, pengembangan lingkungan yang mendukung bagi perusahaan swasta, dan penerapan kebijakan yang mendorong persaingan yang adil dan mobilitas sosial.

Namun, reformasi semacam itu akan membutuhkan tingkat keterbukaan dan fleksibilitas yang tampaknya bertentangan dengan arah rezim saat ini.

Saat Tiongkok berada di titik kritis ini, nasib para lulusan perguruan tinggi menjadi pengingat nyata akan kegagalan PKT. Ketidakmampuan rezim untuk menyediakan kesempatan bagi kaum muda terdidiknya tidak hanya mengancam masa depan ekonomi Tiongkok, tetapi juga berisiko menciptakan generasi yang kecewa dengan janji-janji kemajuan sosial melalui pendidikan.

Krisis lapangan kerja bagi para lulusan bukan sekadar tantangan ekonomi sementara; ini merupakan gejala dari masalah sistemik yang lebih dalam dalam model tata kelola PKT. Jika tidak ditangani, masalah-masalah ini mengancam akan merusak prospek ekonomi jangka panjang dan stabilitas sosial Tiongkok.

Saat jutaan pemuda Tiongkok menghadapi masa depan yang tidak menentu, dunia mengamati untuk melihat apakah PKT dapat beradaptasi dan melakukan reformasi, atau apakah akan terus berada di jalur salah urus ekonomi dan kehilangan potensi.